Sabtu, 24 Februari 2018

Media Islam Salafiyyah, Ahlussunnah wal Jama'ah almanhaj.or.id MELURUSKAN CERITA TENTANG TSA’LABAH BIN HAATHIB MELURUSKAN CERITA TENTANG TSA’LABAH BIN HAATHIB Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Ada sebuah hadits yang berbunyi: وَيْحَكَ يَا ثَعْلَبَةُ، قَلِيْلٌ تُؤَدِّيْ شُكْرَهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ لاَتُطِيْقُهُ. أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ مِثْلَ نَبِيِّ اللهِ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ شِئْتُ أَنْ تَسِيْلَ مَعِيَ الْجِبَالُ فِضَّةً وَذَهَبًا لَسَالَتْ. “Artinya : Celaka engkau wahai Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya. Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku” TAKHRIJ HADITS. Hadits ini diriwayatkan oleh: Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayaan (VI/425 no. 17002), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (VIII/218-219, no. 7873), ad-Dailamy, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (XI/208) dan al-Wahidi dalam Asbaabun Nuzul (hal. 257-259). Semuanya telah meriwayatkannya dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah as Salamy dari Ali bin Yazid dari al-Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah al-Baahiliy, ia berkata: “Bahwasanya Tsa’labah bin Hathib al-Anshary datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar aku dikarunia harta.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: (Ia pun menyebutkan lafazh hadits di atas). Lanjutan hadits ini adalah sebagai berikut: Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohon kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya (zakat/sedekah) kepada yang berhak menerimanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: “Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, ia menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah (desa). Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat Zhuhur dan Ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at pun ia tinggalkan. Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya,…” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau sebangsa pajak? Aku tidak tahu apa sebenarnya yang kalian minta ini!” Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat: “Artinya : Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” [At-Taubah: 75-76] Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa khilafah mereka. Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ جِدًّا) LEMAH SEKALI Lihat Dha’if Jami’ush Shaghiir (no. 4112). Karena dalam sanad hadits ini ada dua orang perawi yang lemah: [1]. Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik, seorang rawi yang sangat lemah. Imam al-Bukhari dalam kitabnya berkata: “Ali bin Yazid, Abu ‘Abdil Malik al-Hany ad-Dimasyqy adalah seorang perawi yang Munkarul Hadits.” Imam an-Nasa-i berkata: “Ia meriwayatkan dari Qasim bin ‘Abdirrahman, ia Matrukul Hadits.” [Lihat adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin (no. 455).] Imam ad-Daraquthny berkata: “Ia seorang matruk (yang ditingggalkan haditsnya dan tertuduh dusta).” Imam Abu Zur’ah berkata: “Ia bukan orang yang kuat.” Imam al-Haitsamy berkata: “ ‘Ali bin Yazid adalah seorang matruk.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/161, no. 5966), Taqriibut Tahdziib (II/705, no. 4933), al-Jarh wat Ta’dil (VI/208), Lisanul Mizan (VII/ 314), Majmu’uz Zawaaid (VII/31-32)] [2]. Mu’aan bin Rifaa’ah as-Salamy, seorang perawi yang dha’if (lemah). Ibnu Hajar berkata: “Ia adalah seorang rawi yang lemah dan ia sering memursalkan hadits.” [Periksa: Taqriibut Tahdziib (II/194, no. 6771)] Kata Imam adz-Dzahabi: “Ia tidak kuat haditsnya.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (IV/134)] Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Hammad, ia berkata: “Salamah dari Ibnu Ishaq dari ‘Amr bin ‘Ubaid dari al-Hasan: ‘Bahwa yang dimaksud ayat itu (9: 75) adalah Tsa’labah bin Haathib Mu’aththib bin Qusyair keduanya dari bani ‘Amr bin ‘Auf.’” [Periksa: Jami’ul Bayaan fii Ta’-wiilil Qur-aan (IV/ 427, no. 17005)] Adapun kelemahannya adalah: [1]. Mursal Hasan al-Bashry, ia seorang tabi’in. [2]. ‘Amr bin ‘Ubaid Abu ‘Utsman al-Bashri al-Mu’tazili. Kata Ibnu Ma’in: “Tidak boleh ditulis haditsnya.” Kata Imam an-Nasaa-i: “Matruk, tidak kuat, tidak boleh ditulis haditsnya.” Kata Imam al-Fallas: “ ‘Amr ditinggalkan haditsnya dan dia adalah ahli bid’ah.” Kata Abu Hatim: “Matrukul Hadits.” [Lihat Mizaanul I’tidal (III/273-280) dan Tahdzibut Tahdzib (VIII/62-63)] PARA ULAMA YANG MELEMAHKAN HADITS-HADITS INI Di Antaranya ialah: [1]. Imam Ibnu Hazm, ia berkata: “Riwayat ini bathil.” [l-Muhalla (XI/207-208).] [2]. Al-hafizh al-’Iraqy berkata: “Riwayat ini dha’if.” [Lihat Takrij Ahaadits Ihya’ Ulumuddin (III/287).] [3]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Riwayat tersebut dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah.” [Lihat Fat-hul Baari (III/266)] [4]. Ibnu Hamzah menukil perkataan Baihaqi: “(Riwayat ini) dha’if.” [Lihat al-Bayan wat Ta’rif (III/66-67)] [5]. Al-Munawi berkata: “(Riwayat ini) dha’if.” [Lihat Fai-dhul Qadir (IV/527).] [6]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Hadits ini dha’ifun jiddan.” [Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (IX/78 no. 4081)] RIWAYAT YANG BENAR Tsa’labah bin Haathib adalah seorang Sahabat yang ikut dalam perang Badar sebagaimana disebutkan oleh: [1]. Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqaat (III/36). [2]. Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Istii’ab (hal. 122). [3]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany di dalam kitab al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (I/198). Beliau ber-kata: “Tsa’labah bin Hathib adalah Shahabat yang ikut (hadir) dalam perang Badar. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar: لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَّةَ. “Artinya : Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” [HR. Ahmad (III/396), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2160)] [4]. Kata Imam al-Qurthuby (wafat th. 671 H): “Tsa’labah adalah badry (orang yang ikut perang Badar), Anshary, Shahabat yang Allah dan Rasul-Nya saksikan tentang keimanannya seperti yang akan datang penjelasannya di awal surat al-Mumtahanah, adapun yang diriwayatkan tentang dia (tidak bayar zakat) adalah riwayat yang TIDAK SHAHIH. [Tafsir al-Qurthuby (VIII/133), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah] SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HIKAYAT TSA’LABAH YANG TIDAK BENAR DI ATAS Sesudah kita mengetahui kelemahan riwayat tersebut, maka tidak halal bagi seorang muslim pun untuk mem-bawakan riwayat Tsa’labah sebagai permisalan kebakhilan, karena bila kita bawakan riwayat itu berarti: Pertama : Kita berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua : Kita menuduh seorang Shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang buruk. Ketiga : Kita telah berdusta kepada orang yang kita sampaikan cerita tersebut kepadanya. Ingat, kita tidak boleh sekali-kali mencela, memaki atau menuduh dengan tuduhan yang jelek kepada para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ. “Artinya : Barangsiapa mencela Shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, Malaikat dan seluruh manusia.” [ HR. Ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jamul Kabir (XII/110, no. 12709) dan hadits ini telah di-hasan-kan oleh Imam al-Albany dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2340), Shahih al-Jaami’ush Shaghir (hal. 2685)] Wallaahu a’lam bish Shawaab. [Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M] _________ MARAAJI’ [1]. Tsa’labah bin Haathib ash-Shahaby al-Muftara’ ‘alaihi, oleh ‘Adab Mahmud al-Humasy, cet. Daarul Amaani, Riyadh, th. 1407 H. [2]. Asy-Syihaab ats-Tsaqiib fidz Dzabbi ‘anish Shahabil Jalil Tsa’labah bin Haathib, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Daarul Hijrah, cet. II, th. 1410 H. [3]. Mizaanul I’tidal fii Naqdir Rijal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bijaawy, cet. Daarul Fikr. [4]. Majmu’-uz Zawaa-id wa Mamba-ul Fawaa-id, oleh Imam al-Haitsamy. [5]. Al-Muhalla, oleh Ibnu Hazm. [6]. Tafsir ath-Thabary, oleh Imam ath-Thabary, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah. [7]. Tafsir al-Qurthuby, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby. [8]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah. [9]. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy, cet. Daarul Fikr. [10]. Al-Mu’jamul Kabir, oleh Imam ath-Thabary, tahqiq: Hamdi Abdul Majid as-Salafy. [11]. Adh-Dhu’afa’ wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i, cet. Daarul Fikr. [12]. Fai-dhul Qadir, oleh al-Munawy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah. [13]. Fat-hul Baari, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, cet. Daarul Fikr. [14]. Al-Ishaabah fii Tamyizish Shahabah, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar ‘al-‘Asqalany. [15]. Al-Istii’ab bi Ma’rifatil Ash-haab, oleh al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr (bihaamisy al-Ishaabah.) [16]. Lisaanul Miizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany. [17]. Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam al-Ghazaly, (bi Haamisyihi takhrij lil-Hafizh al-‘Iraaqy.), cet. Daarul Fikr, th. 1418. [18]. At-Tashfiyyah wat Tarbiyyah wa Aatsaariha fisti’naafil Hayaatil Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Atsary. [19]. Asbaabun Nuzul, oleh Imam Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah. [20]. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany. [21]. Silsilatul Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany. [22]. Shahih al-Jaami’-ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany. 5 November 2007 editor Risalah : Hukum Leave a Comment ← Haram Murka Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala Memberikan Kepadanya Anak-Anak PerempuanPengertian As-Sunnah Menurut Syari’at → CATEGORY ARCHIVES META Masuk RSS Entri RSS Komentar WordPress.org Almanhaj.or.id | ISDN | BisaQu | DLDKilat Hak Suami Atas Istrinya, Anak Hasil Zina Apakah Anak Haram, Sayyidil Istifhfar, Hak Suami Atas Istri Dan Hak Istri Atas Suami, Cara Sujud Yang Benar Menurut Hadis, Sebaik Baiknya Laki Laki, Sistem Pernikahan Dalam Islam, Syarat Dan Tata Cara Rujuk, Dalil Tentang Munculnya Dajjal, Hadits Mentaati Pemimpin, Arti Dari Nama Uswatun Hasanah, Tatacara Sholat Jenazah Sesuai Sunnah, Dalil Wajibnya Sholat Jumat, Adab Di Hari Jumat, Kenapa Jin Bisa Masuk Ke Tubuh Manusia, Semua Yg Hidup Pasti Mati, Melihat Setan Dalam Islam, Hukum Pezina Menurut Islam, Hukum Anak Kecil.menjadi Makmum, Jawaban Untuk Mendengar Adzan

Sabtu, 16 September 2017

kisah rosulullah dan pengemis buta yahudi

~Kisah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam Dan Pengemis Buta Yahudi~ Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.” Teriakannya yang keras tak terlewatkan oleh seorang pun yang berjalan di dekatnya. Setiap kali ada yang terdengar langkah kaki orang melewatinya, pengemis buta itu selalu mengumpat Rasulullah Muhammad SAW, dan mengatakan Muhammad adalah tukang sihir, orang gila dan sebagainya. Pengemis Yahudi buta itu hampir setiap hari di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang menyuapi pengemis yang hampir tidak pernah berhenti untuk menghina dan merendahkan Muhammad SAW. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis. Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya. Orang lain yang menawarkan diri untuk menyuapi pengemis buta yang tidak berhenti merendahkan Muhammad SAW tersebut adalah sahabat terbaik Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq. Hati dan kepala Abu Bakar mendidih mendengar sumpah serapah pengemis Yahudi tersebut. Namun Abu Bakar menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan kepada pengemis buta tersebut. Namun bukan rasa terimakasih yang di dapat oleh Abu Bakar, jusru penyangkalan dan hardikan keras dari pengemis tersebut. “Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” hardik si pengemis buta. “Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar. “Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar. Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya. Air matanya tumpah tak tertahankan, dadanya turun naik, Beliau menangis sampai terisak-isak. Salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad SAW itupun berkata, “Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.” “Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.” Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini memberinya makan dan juga menyuapinya. “Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar ini,” jawab Abu Bakar kepada pengemis buta itu. Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput. Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad ada di sampingku sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.” Kata pengemis buta dalam tangisnya. Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dibalas dengan kasih sayang oleh Nabi Akhir Zaman tersebut. Demikianlah kisah keteladanan Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang sebaiknya dicontoh oleh umat Beliau. Semoga kita termasuk orang yang mendapatkan syafa’at dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam di Hari Penghakiman kelak.. Aamiin...... Mari berbagi kebaikan.

Senin, 28 Agustus 2017

jalan cinta

Jalan Cinta Abu Sa’id al kharraz ra:. “ Lama sekali aku mencari-Nya, tapi yang ku temui hanyalah diriku sendiri, sekarang aku mencari diriku, tapi yang ku temui hanyalah Dia. Jika kalian temui Dia, maka kalian akan terlepas dari segala sesuatu dan jika kalian terlepas dari segala sesuatu, maka kalian akan menemui-Nya. Lalu mana yang harus lebih didahulukan di antara keduanya?. Hanya Allah lah yang lebih tahu. Jika Allah menampakkan Diri maka kamu tiada, dan jika kamu ada maka Dia menampakkan diri. Lalu mana lebih dahulu? Hanya Allah lah yang lebih tahu ”. Apabila seorang hamba tersadar daripada kesilapannya, maka ia akan berfikir dan meneliti segala nikmat yang telah di karuniakan Allah padanya, baik yang dulu mahupun yang baru. Maksud nikmat-2 Allah yang dulu adalah, karunia pemberian-Nya di saat kamu masih belum ada apa-apa lagi, dengan menggolongkan kamu ke dalam kelompok ahli tauhid dan menjadikan kamu beriman dan mengenal zat-Nya yang Maha Mulia. Dia telah menetapkan namamu dengan Qalam di Lawh Mahfuz sebagai seorang muslim, pada hal telah banyak manusia dari masa lampau yang telah dibinasakan oleh-Nya, dan kamu telah dipilih untuk dimasukkan ke dalam golongan terpilih, dari orang yang beriman dan selamat. Setelah itu kamu dimasukkan ke dalam suatu umat yang terbaik dari sekelian umat, menganuti satu agama yang paling mulia dan, menjadi umat kekasih-Nya iaitu nabi Muhammad SAW. Kemudian Dia memberimu hidayah untuk terus berpegang pada Sunah Nabi saw dan, memberimu petunjuk dengan syariat-Nya, serta menjauhkanmu dari kesesatan hawa nafsu. Lalu Dia memeliharamu, membelamu dan memberimu makanan serta minuman sehingga kamu dapat hidup dan berkembang. Tapi sayangnya kamu membalasnya dengan tidak baik. Air Susu dibalas dengan Tuba. Kamu mengingkari segala karunia-Nya, lalai memelihara wasiat-Nya. Meskipun demikian, Allah tetap tidak membalas kejahatanmu dengan kejahatan yang serupa, malah Dia menutupinya, memaafkannya dan juga masih menyayangimu. Sesudah itu, Dia masih tetap menunjukkan kasih-Nya terhadapmu, dengan cara memberi kesadaran atas kelalaianmu. Lalu Dia, mengingatkanmu akan banyaknya ketaatan yang masih belum kamu tunaikan dan masih terus memberimu peluang untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya, hingga kamu diletakkan ditempat yang paling baik dan diridhai-Nya. Dari Anas Ibn Malik r.a berkata: “Selama aku mengabdi kepada Nabi Muhammad saw, belum pernah sekalipun beliah menegur atas apa yang aku lakukan. Umpamanya mengatakan, mengapa engkau melakukan itu atau mengapa engkau tidak berbuat begini? Tapi yang biasa beliau katakan, “Begitulah yang telah ditetapkan Tuhan, dan beginilah yang telah ditentukan Tuhan.” Dari Umar Ibn Al khattab r.a berkata: “Aku tidak pernah menghiraukan keadaanku di waktu pagi atau petang, adakah sesuai dengan kehendakku atau sebaliknya, sebab aku tidak pernah tahu keadaan mana yang lebih baik buat diriku.” Pernah Nabi Muhammad Saw berkata kepada Ibn Mas’ud r.a: “Wahai anak hamba Allah ! kamu jangan banyak berfikir, sebab apa-apa yang ditakdirkan-Nya pasti akan terjadi. Dan makanlah apa-apa yang boleh engkau perolehi sebagai rezekimu.” “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami.” QS Ath Thuur:48 Hebah/Sebar/Kongsikan Buat Yang Mahu Mengambil Manfaat Like Dan Kongsikan Page2 Di Bawah Ini: 1. www.facebook.com/Allah-142023832524908 2. www.facebook.com/maulabillah 3. www.facebook.com/tradezara 4.www.facebook.com/Muallim-1777274602593032 Sila tolong kongsikan.Please Do Like&Share Our Pages

penyebab hati tetap gelisah,meski rajin ibadah

*"PENYEBAB HATI TETAP GELISAH MESKI RAJIN BERIBADAH"* Berikut ini sebuah cerita dari Abu Yazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Abu Yazid Al Busthami juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu. Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Abu Yazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.” Abu Yazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.” Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Abu Yazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,” ucap Abu Yazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu. “Baiklah kalau begitu,” kata Abu Yazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!” “Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut. Abu Yazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?” Abu Yazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Abu Yazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!” Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Abu Yazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya. Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Abu Yazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk.menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt. Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?” Nabi menjawab, : ”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber-istiqamah-lah kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat dan ahli dzikir, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama. Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.” Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.” Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?” “Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?” Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….” Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Abu Yazid Al-Busthami kepada santrinya. اللهم طهر قلوبنا من كل وصف يباعدنا عن مشاهدتك ومحبتك. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Jumat, 25 Agustus 2017

wahai pemilik sandal

  madinahrasul.com Baru saja dioptimalkan Lihat yang asli Kemuliaan Sandal Rasulullah SAW ? No Comments |  Para ulama menukilkan dalam beberapa buah kitab berkenaan sepatu atau sandal Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam. Apa hebatnya sandal Rasulullah ini? Mengapa sehingga boleh tertulis namanya dalam kitab-kitab, sehingga dibaca oleh ribuan murid? Di mana istimewanya sandal ini? Kenapa sandal ini yang dipilih? Sudah tentu ulama yg mendahului kita, yang memiliki ilmu seluas jagat raya, lebih memahami mengapa perlunya sandal Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam dibicarakan. Ketika Anas ditanya tentang Sandal Beliau, "Bagaimanakah sandal Rasulullah SAW itu?" Anas ra. menjawab : "Kedua belahnya mempunyai tali qibal"  (tali sandal yang bersatu pada bagian mukanya dan terjepit di antara dua jari kaki) Martabat Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam terlalu tinggi, apapun yang berkenaan dengannya, bahkan Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam memiliki derajat khusus disisi Allah swt. Lebih dari itu, Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam Penutup sekaligus Penghulu bagi para Nabi dan Rasul. Dinukilkan daripada Al-Quran yang mafhumnya, Nabi Musa Kalamullah sering kali bermunajat di Bukit Tursina. Nabi Musa diberi mukjizat untuk berbicara secara langsung dengan Allah SWT. Namun, ketika Nabi Musa as sebelum masuk ke tempat khalwah, menghadap Allah SWT di Bukit Tursina, maka di saat itu diperintahkan kepada Nabi Musa as :  “Lepas kedua sandal mu wahai Musa kau berada di lembah yang suci” (QS Thaahaa 12) " Berbeda dengan sandalnya Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam. Sandal yang terukir gambarnya seperti di atas itu, pernah naik hingga ke atas, ke sidratul muntaha. Di saat Rasul shallallahu 'alaihi wasallam Mi’raj naik ke hadhratullah tidak di perintah membuka kedua sandalnya pada peristiwa Isra Wal Mikraj. Ini menjadi dalil bahawasanya segala yang berkait dengan Baginda Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam adalah mulia dan tidak hina sama sekali. Maka berkata para penyair dalam syairnya: "Manakah yang lebih mulia, apakah Jibril as atau sandal Rasulullah SAW?" Jibril as. tidak bisa naik ke hadhratullah, tapi sandalnya Rasulullah SAW naik ke hadhratullah subhanahu wata'ala. Jibril as. tentu lebih mulia daripada sandal, sandal hanya terbuat dari kulit kambing tapi karena sandal terikat dengan kaki Muhammad SAW. Walaupun terbuat dari kulit kambing tapi karena terikat dengan kaki Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian pakaian Rasulullah SAW ikut naik ke hadirat Allah SWT, Rasulullah SAW tidak diperintah membuka kedua sandalnya. Ini sebagai tanda bahwa orang-orang yg terikat hatinya dengan Rasulullah SAW sangat dekat dengan Allah SWT. Allah tidak perintahkan semua yang bersama Rasul SAW untuk berpisah, bahkan sandalnya pun tidak diperintahkan dibuka. Ini menunjukkan lebih lagi hatinya yang terikat cinta pada Sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka mendapatkan rahasia kemuliaan isra’ wal mi’raj, seluruh ummat beliau Buktinya, saat kita shalat kita mengulang kembali kalimat percakapan Allah dengan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW berjumpa dengan Allah SWT dan Allah SWT telah berfirman: “saat itu sangat dekat dia dengan Allah subhanahu wata'ala” (QS Annajm 8-9) Diriwayatkah dalam Assyifa oleh Hujjatul Islam Al Qadhi’iyad alaihi rahmatullah bahwa di saat itu Rasulullah SAW menceritakan: "Saat aku naik menuju Mi’raj aku melihat di langit itu para malaikat gemuruh dengan dzikir dan tasbih dan warna dan bentuk yang belum pernah aku lihat di permukaan bumi belum pernah ada warna seperti itu dan bentuk seperti itu dan kulihat hamparan Surga itu bentangan tanahnya adalah Misk yang di keringkan, minyak wangi yang mengering dari indahnya di campur dgn berlian dan juga mutiara dan kemudian aku sampai menembus Muntahal khalai’iq (batas akhir seluruh Makhluk) tidak lagi kudengar satu suarapun, sepi dan senyap, tidak ada lagi bentuk dan warna warni dan saat itu akupun mendengar satu suara" “mendekatlah mendekat wahai Muhammad, tenangkan dirimu dari ketakutanmu wahai Muhammad” maka beliau pun bersujud lalu berkata: "Attahiyyatul Mubaarakaatus shalawaatut thayyibaatu lillah“ (Rahasia keluhuran, kebahagiaan, kemuliaan, keberkahan, milik Allah dan untuk Allah subhanahu wata'ala) maka Rasulullah SAW mendengar jawaban: "Assalaamu alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh” (Salam sejahtera wahai Nabi dan Rahmatnya Allah, dan keberkahannya) Maka Rasulullah SAW menjawab: “Assalaamu alaina, wa alaa ibaadillahisshaalihiin” (Salam sejahtera bagi kami (yaitu aku dan ummatku), dan hamba hamba yg shalih (yaitu para nabi dan malaikat) Rasulullah SAW tidak mau mengambil rahasia salam sejahtera dari Allah sendiri, tapi ingin menyertakan Ummat Beliau dengan ucapan: “salam sejahtera untuk kami dan para hamba Allah yang Shaleh yaitu para malaikat dan para Rasul dan Nabi” Sepanjang hidup entah sudah berapa kali Rasulullah Saw berganti sandal. Yang pasti, salah satu bekas Sandal Rasulullah Saw tersebut kini tersimpan rapi di salah satu ruangan rahasia di dalam Museum Negara Topkapi Istanbul,Turki hingga kini. Sandal Rasul itu kini berdiam di sana, tapi mungkin tidak ada yang pernah menyangka bahwa jejak-jejak yang ditinggalkan oleh pemakainya (Rasulullah Saw) kini bukan hanya terbatas di Mekkah atau Madinah, tapi sudah sampai di Eropa, Asia, Amerika, Afrika, Cina, India dan Australia lewat Risalah Dienul Islam. Sang pemilik sandal itu meninggalkan jejak yang begitu mendalam di seluruh alam raya dan di qalbu milyaran kaum muslimin di seluruh dunia. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi Muhammad Saw berserta Keluarganya, dan para sahabat yang mengikutinya dan kita ummatnya hingga akhir zaman. Penjelasan dari Kitab Terjemahan ini diambil dari Mitsaalunna’li assyariifi (Gambar sandal Rasulullah SAW) yang telah disusun oleh Syekh Yusuf Ismail Annabhani. Alhamdulillahilladzi kholaqol kaunaini watsaqolaini washalallahu ‘alaihi wasallam ‘ala shohibinna’laini sayyidina Muhammadibni Abdillahi ibni Abdil mutholibni Haasyim alladzi turjaa syafaa’atuhu ila yaumiddin wa alaa alihi wa ashhaabi rasulillahi ajma’iinaa, amma ba’du. Berikut isinya secara singkat, “Sungguh benar bahwa sandal Rasulullah SAW itu dari kulit yang di rangkap menggunakan 2 “tancapan” seperti batang dari kulit yang dinamakan Qibal. Yang satu dimasukkan kira – kira antara ibu jari dan jari yang didekatnya, dan yang satunya lagi dimasukkan kira – kira antara jari tengah dan jari yang ada didekatnya, 2 tancapan tadi dihubungkan dengan wadah (sebuah bingkai berbentuk yang disesuaikan dengan ukuran kaki) yang ada di atas telapak kaki. Tungkainya juga memakai wadah (sebuah bingkai berbentuk yang disesuaikan dengan ukuran kaki) yang mencakup hingga seluruh telapak kaki.Adapun warna sandal Rasulullah SAW adalah berwarna kuning. Gambar tersebut sudah diuji kebenarannya oleh Ibnu ‘Araby , Ibnu ‘Asaakir, Ibnu Marzuqi alfaaruqi, Assyuyuuthi, Assakhoowi, Attata’I, dan beberapa Syekh yang semuanya telah menerangkan pengambilannya. Adapun sandal tersebut berasal dari Sayyidatina ‘Aisyah lalu berpindah – pindah hingga kemudian diambil gambarnya persis dan sama seperti ukuran aslinya. Al ‘Alamah Syekh Al muqorri di kitab Fathul Muta’aal “fi mat hinni’al” memberikan keterangan: “waqod sallama lima dzakarohu rohimahullohu ta’aala Assyekhul imam Al hafidz al ’alqomiyyi fi hasiyaatihi ‘alaa jamii’I shoghir fi ahaaditsil basyiir annadzir idz qoola waroda annathuula na’lihi SAW syibrun wa usbu’aanii wa ardluhaa mimma yalil ka’baini sab’uu asshhoobi’ wa bathnal qodami khomsun wa fauqohaa sittun waro’suha muhaddadun wa ardloma bainal qibalaini, ushbu’aani wa naqoltuhu ana ma’a jamii’il fawaaidi allati haulahu min fathil muta’aali, qola al manawi wal qooriiy fi syarhil syamaawiili. qolal Ibnu Arobi wanna’lu libaasul anbiyaai wa innama ittakhodannasu ghoiroha lima fi ardlihim min atthiini wa khotamtuhu bi qoulihi innii khodamtu mitsaala na’lil mushthofa li a ‘iisya fiddaaroin tahta dhilaaliha sa’iidabnu Mas’uudin bi khidmati na’lihaa wa ana assa’iidu bikhidmati limitsaalihaa Faedah: Adapun faidah Mitsaalunna’lissyariif (Gambar sandal Nabi Muhammad SAW) ini sudah diterangkan oleh Imam Qistholani dan Imam Muqorri. Menurut keterangan para ulama yanag artinya seperti ini: “Barang siapa yang menyimpan Mitsaalunna’lissyariif (Gambar sandal Nabi Muhammad SAW) di dalam rumahnya atau tempatnya dengan niat supaya mendapatkan berkah, maka tempat orang tersebut diliputi keselamatan dari orang yang bermaksud buruk (jahat), pencuri, perampok, orang yang hasud, syetan yang menyesatkan, selamat dari penyakit ‘ain dan sihir artinya santet dan tenung, Disamping itu juga ketika ada perempuan yang kesulitan dalam melahirkan bayi / proses persalinannya apabila si perempuan tersebut menggenggam gambar ini di tangan kanannya maka akan diberi kemudahan dalam proses persalinannya Dengan daya Allah dan Kekuatan Allah SWT. Juga barang siapa yang mengistiqomahkan membawa Mitsaalunna’lissyariif (Gambar sandal Nabi Muhammad SAW) yang dilipat dan digunakan azimat atau diletakkan di kopyah / songkok atau sabuk maka orang tersebut terkabul maksudnya atas makhluq (apa yang menjadi tujuannya akan tercapai). Bisa ziarah ke makam Rasulullah SAW, dan bisa mimpi bertemu Rasulullah SAW. Jika digunakan untuk perang dalam membela agama Allah maka, akan diberikan kemenangan dan juga tidak sampai melarikan diri (dari peperangan). Jika digunakan untuk berdagang maka akan selamat dari perampok. Jika di letakkan pada barang dagangan maka akan aman dari pencurian dan perampokan. Apabila di letakkan di dalam rumah maka akan selamat dari kebakaran. Apabila dibawa di dalam kapal / perahu maka akan diberikan keselamatan dari karam/ tenggelam. Apabila dibawa orang yang sedang sakit maka akan diberikan cepat sembuh. Apabila orang yang hatinya kalut maka akan segera bahagia. Apabila mempunyai hajat dan mau bertawasul kepada Rasulullah SAW maka orang tersebut akan segera tercapai hajatnya. Pelukisan sandal Rasulullah tentunya muncul dari kecintaan kepada Rasulullah SAW, yang diberi keistemawaan berupa derajat dan kedudukan yang tinggi. Ibarat sesorang mencintai orang lain, maka segala apa yang berhubungan dengan yang dicintai, juga akan disukainya. Lukisan sandal hanya sebagai wasilah kepada Rasulullah SAW yang telah diberikan Allah badan dan kaki yang bagus dan tidak ada orang lain yang menyamainya. Sebenarnya bukan mencintai sandal, tetapi mencintai orang yang memiliki sandal itu.Shallallahu alaihi wa alihi wa shahbihi wa sallam. Semua ini didasari dengan keyakinan yang teguh/kuat dan cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW . Allohumma arinaa barokata hadzihi anna’li bihaqqi man danaa fatadallaa fakaana qooba qousaini au ‘adnaa.  2014@abdkadiralhamid http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2014/07/manakah-yang-lebih-mulia-apakah-jibril.html Share This:    Facebook Twitter Google+ Artikel, Sejarah Related Posts: Kisah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas Di dalam kitab "Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah" karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangk… Read More Khalid bin Walid Perang Bertabaruk Rambut Rasulullah SAW ..ia bertabarruk dan selalu memenangkan perang, di antaranya adalah perang Yarmuk.... Dia lebih khawatir kehilangan rambut Sang Nabi SAW daripada kehi… Read More SYARIFUDDIN KHALIFAH KINI DEWASA, BAYI AJAIB NON-MUSLIM AFRIKA subhanalloh.....allohu akbar!!!!SYARIFUDDIN KHALIFAH KINI DEWASA, BAYI AJAIB NON-MUSLIM AFRIKAKembali mengingat peristiwa tahun 90-an, dunia saat itu … Read More Sejarah Pemberian Tanda Baca & Tajwid Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada t… Read More Asal Usul Istilah SARKUB Berawal dari info dari salah sohib di Bojonegoro kalau ada website yang lumayan ajib isinya namanya juga ajib,sarkub.com apa sikh sarkub itu? penulis … Read More 0 komentar: Posting Komentar Beri komentar sebagai: Translate Powered by Translate Instagram kami WEBSTA WIDGETS Laman Facebook Kami Info Lembaga berita Buku Info lembaga Info pendaftaran PROFIL PESANTREN Galeri Galeri Video DONASI Lokasi Pesantren Kajian JMR 1 Adab Alhikam Anekdot Aqidah Artikel Aswaja berita Doa download-kitab download-kitab-for-hp Kajian JMR 2 hikmah Kajian Ihya Ulumuddin Kajian-Fiqih Khutbah jum'ah kisah hikmah Manaqib Nasehat Sejarah Siroh Nabawiyah Tanya Jawab Wanita kreasi © 2017 Pondok Pesantren Madinah Ar Rasul | Santri Madinah ArRasulBabakan | Ciwaringin Cirebon Profil Pesantren Visi dan Misi Biografi Pendiri dan Pengasuh SMP PROGRESIF MR SMK PROGRESIF MR Jadwal Kegiatan Program Pendidikan Info Pendaftaran Persyaratan Santri Baru Tata Tertib Brosur Video Home

Kamis, 17 Agustus 2017

inama yakh syallah

English | 中文 | Uygur | Français | Español | 日本語 | Indonesian | Русский new | Turkish | Hindi new | বাংলা new | German new | Portuguese new | فارسی new | اردو | عربي | Islam Question and Answer General supervisor shikh : Mohammad Al Munajjed Thu 25 DhQ 1438 - 17 August 2017 - » . enares 52817: Penafsiran Firman Allah Ta’ala : (إنما يخشى الله من عباده العلماء) "Sesungguhnya Yang Takut Kepada Allah Diantara Hamba-Hambanya Adalah Mereka Para Ulama." Bagaimana pengertian dari firman Allah Ta’ala: (إنما يخشى الله من عباده العلماء) “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya adalah mereka para Ulama”? Kepada siapakah dikembalikan rasa takut? Dan kita semua mengetahui sesungguhnya Allah tidak takut kepada siapapun, akan tetapi yang takut kepadanya adalah para hamba-hamba Nya? Published Date: 2015-01-12 Alhamdulillah … Allah Ta’ala berfirman: ( إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ) “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28) Maka sebagai pelaku dalam ayat ini adalah: Para ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling takut kepada Allah. Lafdzul jalalah (Allah) sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faedah dan fungsi didahulukannya peletakan obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya yang takut kepada Allah Ta’ala tak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya yang didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi "Sesungguhnya para ulama kepada Allah," Permaknaan seperti ini tidak dibenarkan, karena artinya ada di antara para Ulama yang tidak takut kepada Allah. Atas dasar inilah Syekhul Islam berkomentar tentang ayat: “Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Allah” (Dari kitab “Majmu Al Fatawa”,  7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494). Dari penjelasan di atas maka ayat yang mulia ini memberikan faedah: Sesungguhnya para Ulama itu pemilik rasa takut kepada Allah, dan sesungguhnya siapa saja yang tidak takut kepada Allah berarti dia bukanlah seorang alim. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan benar-benar takut adalah para Ulama yang mereka paham betul tentang hakekat Allah Ta’ala, karena ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah sempurna dan bekal ilmu tentang-NYA sudah memadai maka perasaan takut kepada-NYA akan semakin besar..” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radliyallahu Anhu tentang firman Allah Ta’ala :  إنما يخشى الله من عباده العلماء Dia berkata, "Mereka yang takut kepada Allah adalah mereka yang mengetahui sesungguhnya Allah Kuasa atas segala sesuatu." Said bin Jubair berkata, "Yang dinamakan takut adalah yang menghalangi anda dengan perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla." Al Hasan Al Bashri berkata, "Orang Alim adalah yang takut kepada yang Maha Pemurah terkait perkara yang Ghaib, menyukai apa yang disukai oleh Allah, dan menjahui apa-apa yang mendatangkan kemurkaan Allah. Lalu beliau membaca Ayat:  إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Dari Abdullah bin Mas’ud Radliyallahu Anhu dia berkata, "Bukanlah yang dikatakan orang berilmu itu orang yang banyak hafal hadits, akan tetapi yang dinamakan orang berilmu itu orang yang rasa takutnya amat besar." Sufyan Ats Tsauri meriwayatkan dari Abu Hayyan At Taimi dari seorang lelaki dia berkata, "Seorang yang alim tentang Allah adalah orang yang Alim tentang perintah Allah. Orang yang Alim tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim tentang Allah. Adapun  orang yang Alim tentang Allah dan tentang perintah Allah, dialah orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan mengetahui koridor agama serta hal-hal yang difardlukan oleh agama. Adapun orang yang Alim tentang Allah bukanlah orang yang Alim tentang perintah Allah, apabila dia takut kepada Allah Ta’ala dan tidak mengetahui ajaran agama serta hal-hal yang difardlukan oleh agama. Begitupun orang yang Alim tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim tentang Allah, jika dia adalah orang yang mengetahui batasan-batasan dan hal-hal yang difardlukan oleh agama akan tetapi sama sekali tidak takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla." (Dikutip dengan ringkas dari “Tafsir Ibnu Katsir, 4/729) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab “Majmu Al Fatawa”, 17/21, tentang firman Allah Ta’ala ( إنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ). Maksud dari ayat tersebut adalah tidak takut kepada Allah melainkan orang yang Alim. Allah telah memberitakan sesungguhnya setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang alim, sebagaimana Firman Allah dalam ayat yang lain: أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (سورة الزمر: 9) "Apakah kalian hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? katakanlah : “ apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. (QS  Az Zumar: 9) As Sa’di Rahimahullah berkata : “Setiap orang yang pengetahuannya kepada Allah sangat mendalam, maka dialah orang yang banyak takut kepada Allah. Maka rasa takutnya kepada Allah mewajibkan dia menghindari prilaku maksiat dan selalu bersiap diri menjumpai yang ia takuti. Ini merupakan bukti dari keutamaan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu menuntun untuk takut kepada Allah, dan orang yang biasa takut kepada Allah maka dia layak mendapat karomah-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala : رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ (سورة البينة: 8) "Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya."  (QS Al Bayyinah: 8) Kesimpulannya: Sesungguhnya subyek dalam ayat tersebut adalah para Ulama. Pengertian ayatnya adalah, "Sesungguhnya tidak ada yang takut kepada Allah Ta’ala melainkan para Ulama. Merekalah yang paling mengetahui kekuasaan-Nya dan kemampuan-Nya. Tidak ada maksud dari ayat tersebut bahwa Allah Ta’ala-lah yang takut kepada para Ulama karena Allah lebih agung, lebih Mulia dari yang demikian. Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita semua rizki berupa ilmu yang manfa’at dan amal shalih. Wallahu A’lam. Soal Jawab Tentang Islam Create Comments WhatsApp Categories Articles & Books Introduction to Islam New Fatwas Send A Question contact us Semua Hak, Milik Website Islam Soal Jawab ( islamqa.com )©  1997-2017  0.075

Selasa, 15 Agustus 2017

nafas ilmu

Pandangan Wali Imamul Haddad berkata dalam sebuah bait syairnya, "Engkau harus memiliki seorang Guru (Syeikh) yang selalu engkau ikuti jejaknya. Pilihlah mereka dari kalangan yang berhati bersih untuk menuju keapda Allah." Imam Ali Habsyi berkata: "Barangsiapa di zamannya tidak pernah bersahabat dengan seorang Guru (Syeih) yang arif dan kokoh. hidupnya berlalu begitu saja sedangkan ia termasuk orang-orang yang bangkrut." Seorang arif mengatakan: "Barangsiapa yang tidak pernah memandang wajah orang yang beruntung pasti ia tidak akan beruntung." Karena pandangan seorang auliya mampu menembus hati, Dan bila ia telah menembus hati akan menghasilkan bibit, Bibit itu akan selalu tumbuh dan tumbuh, Ia mendapat siraman dari curahan rahmat Ilahi hingga orang tersebut menjadi pribadi yang didekatkan oleh Allah SWT berkat pandangan aulita tersebut. Seorang arif bersyair, "Satu pandangan darinya bila memang mengenai seseorang. melalui pandangan kasih sayang, atas izin Allah pasti dapat menghidupkannya. Imamul Haddad berkata: "Para pembimbing manusia beruntunglah orang yang melihat mereka dan duduk dengan mereka meski sekali seumur hidup." Karena mereka para guru (masyayikh) itu ibarat permata merah. Apabila mereka telah memberikan pandangan pada seseorang niscaya mereka memberinya keberkahan dan rahmat, Dan bila seseorang melihat mereka ia dapat mengambil manfaat cahaya mereka dan mengambil cahaya itu hingga cahaya-cahaya tersebut menyelimutinya kemudian mencapai sisi Allah SWT, dan mengentasnya dari kelalaian dan kemaksiatannya. Dikisahkan oleh Imam Ali Habsyi bahwa di masa dahulu ada seorang lelaki yang sejak kecil selalu bermaksiat. Suatu hari ia berjalan melewati rumah seorang wali. Ia melihat pintu rumah sang wali terbuka. Ia berkata dalam hati, "Aku ini sejak diciptakan Allah selalu bermaksiat. Sedangkan sang wali itu, ia sejak diciptakan Allah selalu taat. Aku ingin masuk ke rumahnya dan MEMANDANG tubuh yang taat itu dari ujung kaki hingga ujung rambut, semoga di hari kiamat kelak aku memperoleh syafaatnya." Ia lalu ia masuk ke rumah itu. Saat itu sang syeikh sedang berdiri di depan pintu. Lelaki itu lalu memandang sang syeikh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Baru beberapa langkah ia bertemu dengan salah seorang murid sang syeikh tadi. Mengapa kau pergi meninggalkannya?" tanya si murid. "Aku hanya ingin menatapnya. Kukatakan pada diriku semoga dzat yang taat itu memberi syafaat kepada dzat yang suka maksiat ini." Si murid lalu menemui sang syeikh dan berkata, "Apakah tadi ada seorang lelaki datang menemuimu?" "Ya, ia berhenti di pintu kemudian pergi begitu saja," jawab sang syeikh. "Aku juga melihatnya meninggalkanmu. Kutanyakan mengapa ia berbuat demikian, ia lalu menjelaskan alasannya," kata si mruid menjelaskan alasan si lelaki. "Benarkah ia berkat demikian?" "Benar" "Kalu demikian, tidak ada yang pantas memegang sir-ku kecuali dia. Panggillah dia!" Si murid lalu mencari mencari dan bertemu dengannya di pasar. "Cepat ke mari, kau akan memperoleh sesuatu tanpa harus bersusah payah." ajak si murid. Sang syeikh kemudian memberikan sir-nya. Lelaki itu akhirnya menjadi khalifah sang syeikh dan menggantikan kedudukannya untuk mendidik murid-muridnya. Begitulah para masyayikh yang sejati, Mereka laksana tiang utama bagi pencari jalan akhirat, Tiang penegak agama, Sumber turunnya rahmat, Dan tiang penegak hidayah. Sebagaimana kata pepatah: "Bersimpuh dihadapan ulama lebih utama daripada belajar tanpa guru."