Rabu, 29 Juni 2016
lahir imam mazhab
Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih? Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.
Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.
Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?
https://kabarislamia.com/2014/12/13/siapakah-ulama-salaf-dan-pengikut-salaf-sebenarnya/
Menurut Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits. Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.
Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, yaitu:
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410544221&title=benarkah-keshahihan-shahih-hanya-sebuah-produk-ijtihad.htm
Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai bodoh dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar. Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Baca selengkapnya di:
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410544221&title=benarkah-keshahihan-shahih-hanya-sebuah-produk-ijtihad.htm
Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA, Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke Nabi lebih dekat.
Tentang iklan-iklan ini
Share this:
FacebookTwitterGoogleCetakSurat elektronikLagi
Memuat...
Terkait
Apakah Imam Mazhab Tidak Mengikuti Al Qur’an dan Hadits?
dalam "Pentingnya BerMazhab"
Makam Nabi di Masjid Nabawi Madinah
dalam "Makam Nabi Muhammad"
Siapakah Ulama Salaf dan Pengikut Salaf Sebenarnya?
dalam "Wahabi"
April 9, 201544 Replies
« Sebelumnya
Berikutnya »
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.
Iwan pada April 14, 2015 pukul 3:46 pm
Salam kenal dari Jakarta, Maaf mau tanya. Kitab Bukhari dan Muslim sudah banyak baik cetak dan software, dimana ya saya bisa dapati kitab imam mazhab tersebut? apakah kajian kitab mereka ada di dalam kitab kuning? Terima kasih.
Masuk log untuk membalas
edimaredi pada Februari 8, 2016 pukul 2:47 am
Cobalah anda baca di software kitab kuning المكتبة الشا ملة (Almaktab Assyamilah) komplit dari ulama madzab hanafi, maliki, safi’i, hambali sampai ulama modern kholaf seperti wahabi, albani, bin Baz semuanya dalam bahasa arab. Apalagi Bukahri Muslim, tafsir pun banyak. Cobalah belajar bahasa Arab…
Masuk log untuk membalas
Iwan pada Maret 16, 2016 pukul 4:10 am
Dimana saya dapat download nya?
Wak Ngah Regar pada April 15, 2015 pukul 2:31 am
ANDALAN ALUMNI LIPIA ADALAH HADITS YG DITASHIH OLEH ALBANI, YG BARU LAHIR KEMARINDOIBANDING DGN IMAM MAZHAB
Masuk log untuk membalas
Agus Waudi pada Mei 7, 2015 pukul 2:52 pm
iyya kasihan tuh alumni universitas LUMPIA ……baru lulus saja udah ngaku2 “saya ini sebenarnya ustadz……” jjiiieeeeiilleeehhh…..
Masuk log untuk membalas
famibun pada April 15, 2015 pukul 1:02 pm
jika bukan menggunakan Bukhori muslim lalu apa yng menjadi rujukan orisinalitas hadits itu datangnya dari Rasul?
misal kita mencari tahu kebiasaan makan Rasul atau kebiasaan rasul sebelum tidur. merujuknya pada hadits yang mana?
terimakasih.
Masuk log untuk membalas
Admin pada April 17, 2015 pukul 2:35 am
Rujukannya ya Imam Mazhab yg berfatwa berdasarkan Al Qur’an dan Hadits dan juga amal Ahli Madinah yang merupakan anak/cucu dari sahabat Nabi.
Kalau langsung pakai hadits tanpa lewat Imam Mazhab bisa sesat. Contohnya anda bisa membiarkan istri anda menyusui pria dewasa lain agar bisa jadi muhrim. Ini haditsnya ada di Sahih Muslim. Padahal di Al Qur’an jelas La taqrabu zina. Jangan dekati zina.
Dari Zainab binti Ummu Salamah, ia berkata : Ummu Salamah berkata kepada A’isyah, “Sesungguhnya ada seorang yang sudah baligh keluar-masuk ke (rumah)mu yang aku sendiri tidak menyukai ia masuk (rumah)ku”. Lalu Aisyah menjawab, “Tidakkah pada diri Rasulullah SAW ada suri teladan yang baik bagimu ?”. Dan ‘Aisyah berkata (lagi) : Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Salim keluar masuk (rumah)-ku, sedang ia kini telah dewasa sedangkan pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu terhadapnya, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Susuilah ia, sehingga ia (boleh) keluar masuk (rumah)mu”. (Muslim).
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1354466572&title=benarkah-aisyah-bolehkan-laki-laki-dewasa-menyusu-pada-wanita-biar-jadi-mahram
Para Imam Mazhab tidak pernah membiarkan pria lain menyusu pada wanita yg bukan muhrimnya dan juga bukan istrinya. Hadits di atas ada 3 hadits lho di Imam Muslim. Apa anda mau langsung mengambil hukum dari hadits dan mempraktekkannya?
Masuk log untuk membalas
Jhoni Warizal pada April 17, 2015 pukul 5:21 pm
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/batas-usia-penyusuan-bayi-yang-dapat.html
Bgaimana pendapat ustadz..
Masuk log untuk membalas
Admin pada April 20, 2015 pukul 3:21 am
Hadits ini meski sahih secara sanad, namun matan (isi) bertentangan dgn Al Qur’an dan hadits2 lainnya:
Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Telah datang Sahlah binti Suhail kepada Nabi SAW. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melihat ketidaksenangan pada wajah Abu Hudzaifah dengan masuknya Saalim’. Maka Nabi SAW bersabda : “Susuilah dia’. Sahlah berkata : “Bagaimana aku menyusuinya, padahal ia seorang laki-laki yang telah besar/dewasa ?’. Maka Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda : “Sungguh aku telah tahu bahwa ia laki-laki yang telah besar” [HR. Muslim no. 1453]
Hadits tsb cuma bersumber dari Siti ‘Aisyah ra dan cuma diriwayatkan oleh Imam Muslim (lahir tahun 204H). Istri2 Nabi yang lain menentang pendapat tsb. Imam Kitab Hadits lain juga tak ada yg memuat hadits tsb.
Menetek itu (selain bayi) kan mendekati zina, sedang Allah mengharamkan kita mendekati zina. Buat apa Allah menyuruh wanita berjilbab dan menutupi dada mereka jika mereka dibolehkan menyusui pria dewasa yang bukan muhrimnya? Akhirnya akan terjadi perzinahan.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’ 32]
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..”[An Nuur:31]
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Masuk log untuk membalas
Lukman Al-Fasiry pada April 19, 2015 pukul 11:55 pm
Mantab !!! Allahu Akbar !!
Moga artikel ini bisa membuka mata para Ikhwan & Akhwat yg selalu men-“DEWAKAN” Shohih Bukhari Muslim dan mencibir pendapat Ulama Besar Para Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Masuk log untuk membalas
Juveholix pada Juni 1, 2015 pukul 10:37 am
mohon maaf saya sangat awam terhadap masalah periwayatan hadist ini, karena yang saya tahu ketika masih sekolah di MI, MTS, MAN itu kalo di bagian belakang hadist itu pasti ada HR, misalhnya HR Imam Ahmad, HR Bukhari Muslim dll…nah kalau Imam Mazhab seperti di atas, itu HRnya bagaimana? Apakah Muttafaq alaih, atau HR Madzhab Syafii, Hambali, dan seterusnya?
Masuk log untuk membalas
Admin pada Juni 4, 2015 pukul 6:07 am
Imam Mazhab tsb seperti Imam Malik yg lahir tahun 93 Hijriyah juga menulis hadits2. Contohnya Kitab Al Muwaththo. Imam Syafi’ie yg lahir tahun150 H pun menyusun kitab fiqihnya berdasarkan hadits2 dan juga ilmu yang didapat dari guru ke guru. Guru Imam Malik adalah 900 ulama yang merupakan anak dan cucu dari sahabat Nabi. Imam Malik adalah guru Imam Syafi’ie. Jadi cara sujud begini2, cara duduk sholat tahiyat terakhir begini2 itu disusun berdasarkan hadits2 dan juga praktek sholat para ulama yang merupakan anak dan sahabat Nabi. Imam Bukhari (lahir 196H) dan Imam Muslim (lahir 204H) belum lahir saat itu. Para Imam hadits ini mengikuti mazhab Syafi’ie.
Muttafaq ‘alaihi artinya hadits yang ada di Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Masuk log untuk membalas
Mukhtar Abdillah pada Juni 3, 2015 pukul 12:20 am
hebat skali mas logikax….smoga qta smua diberi taufik dan hidayah berada d jalan yg benar…
siapapun yg menyampaikan kebenaran yang shohih trimalah dan amalkan….
yg terpenting amalan bukan bnyaknya hapal hadist…
ilmu dan amal….
#berkatabaikataudiam
Masuk log untuk membalas
Gizca D Priyanka pada Juni 3, 2015 pukul 2:57 pm
Reblogged this on gizcadp.
Masuk log untuk membalas
ABie Alyasin pada Juni 6, 2015 pukul 9:30 pm
subhanallah,,,,tulisan ini akan menjadi sangat berarti dan luar biasa buat pencerahan ikhwan dan akhwat terutama yg di “kampus” yg hanya belajar dari mbah google
sangat bermanfaat sekali ustadz…
Masuk log untuk membalas
Usman Mabrur Siregar pada Juni 8, 2015 pukul 1:14 pm
Bagus kali ustadz penjelasannya.
semoga orang2 yg anti terhadap madzhab tersadarkan dengan tulisan ust.
Ada yg mungkin kurang penjelasan ustadz.
Bukhori dan Muslim ini sesat ya? Sehingga kita nggak bisa jadikan rujukan?
trus kenapa kita masih harus bermadzhab imam yg empat itu?
kenapa nggak 1 madzhab aja?
Imam Hanafi kan lebih dulu hidup dan lebih dekat ke zaman para sahabat..jd bukankah td logikanya yg lebih dekat itu lebih shohih?
Kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali nggak bermadzhab kepada Imam Hanafi?
kenapa Imam yg 3 membuat madzhab sendiri?
apa perbedaan para imam itu dengan imam Hanafi sampe Imam yg lain harus membuat madzhab sendiri?
Apa juga perbedaanatara imam yg 4 ini?
kalo sama kenapa harus dibedakan?kalo beda kenapa yg lebih baru nggak ngikut yg lebih dekat dengan zaman Sahabat, yang sudah pasti lebih sahih?
Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz.
somoga kita dalam lindungan Allah…
Masuk log untuk membalas
Admin pada Juni 23, 2015 pukul 3:26 am
Artinya bahkan pakar hadits seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim pun mereka bermazhab. Mereka mengikuti Mazhab Syafi’ie. Mereka tidak bikin mazhab sendiri.
Jika ada pendapat Imam Mazhab yang berlandaskan Al Qur’an, Hadits, dan Sunnah Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in bertentangan dgn Hadits Bukhari atau Muslim, yang lebih kuat adalah pendapat Imam Mazhab. Karena hadits mereka lebih murni.
Imam Bukhari dan Imam Muslim yg bermazhab Syafi’ie insya Allah lurus.
Beda dgn kaum akhir zaman yang justru tidak mau bermazhab.
Masuk log untuk membalas
Ery Hasyem pada Juni 23, 2015 pukul 8:39 am
Assalamualaikum Ustadz…. saya masih kabur dengan penjelasan Ustadz atas pertanyaan dari saudara Usman Mabrur Siregar…. kenapa imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali membuat mazhab sendiri padahal Imam Hanafi lebih dekat dengan zaman sahabat? mengapa ketiga Imam tersebut tidak mengikuti mazhab Imam Hanafi?… trus… pertanyaan yang sama kenapa Imam Hanafi harus membuat madhab? para Tabi’it Tabiin tidak membuat mazhab sedangkan mereka tidak hidup pada zaman rasul? secara logika seharusnya Ulama-Ulama zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in membuat mazhab tapi mereka tidak membuat mazhab karena mereka mengikuti Islam Versi Rasulullah… trus makin berlalu waktu para Ulama berlomba2 mengajari Islam versi mereka masing-masing…seperti Islam versi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali… ketika ada golongan tertentu ingin memahami Islam Menurut Rasulullah berdasarkan hadist-hadist shahih dianggap sesat…. saya sendiri jadi bimbang mana yang harus di ikuti… sementara para pengikut Imam Syafi’i sekarang terutama di Indonesia memasukkan upacara agama Hindu menjadi bahagian dari pelaksanaan Islam… apakah ini dianggap lebih Sunnah… padahal Rasul tidak pernah mencontohkannya… mohon tanggapannya
Masuk log untuk membalas
Anis pada Oktober 15, 2015 pukul 5:57 am
Yang juga perlu dipahami adalah para imam selepas imam hanafi atau imam abu hanifah, yaitu imam malik, imam syafi’i, dan imam hambali kesemuanya telah mencapai derajat keilmuan dan kealiman yang setara dengan imam hanafi. Keempatnya telah mencapai derajat imam mujtahid mutlaq mustaqil, apa itu pengertiannya silakan anda cari juga sendiri, insyaAllah ada penjelasan. Dengan derajat tersebut, beliau berempat layak melakukan ijtihad dalam perkara-perkara agama yang mana kemudian hasil ijtihadnya beliau sarikan dalam mazhab masing-masing.
Mengapa kemudian harus lahir mazhab yang baru setelah mazhabnya imam abu hanifah?
Nah ini, sebab ada perbedaan-perbedaan dalam metode ijtihad beliau. Bagian yang ini juga silakan sambil dipelajari, termasuk membaca sejarah hidup beliau para imam mazhab ini. Perlu diingat juga ulama-ulama besar dari mazhab yang lebih awal tidak pernah menyalah-nyalahkan mazhab yang setelahnya meski hasil ijtihadnya berbeda. Jadi mau mengikuti mazhab mana dari yang empat itu adalah silakan saja, yang mana pun boleh. Tidak perlu bingung
Oh iya, agak unik komentar anda di bagian bawah soal penyimpangan yang anda nisbahkan ke pengikutnya imam syafi’i yang kemudian anda jadikan alasan kebingungan. Well, gampang sekali lah, dalami saja dulu pemahaman dari siap-siapa yang anda anggap menyimpang ini. Apakah memang tidak ada kaitan tuntunannya sama sekali dengan tuntunan nabi yang diteruskan oleh imam syafi’i? Toh dari komentar anda, saya mengira anda pun dalam posisi belum bermazhab syafi’i bukan?!
Admin pada Juli 8, 2015 pukul 5:32 am
Wa’alaikum salam wr wb,
Mau tanya apa mau ngeyel?
Para Imam Mazhab tsb justru adalah kelompok tabi’in dan tabi’it tabi’in. Generasi anak dan cucu sahabat Nabi. Islam masih lurus.
Mazhab Fiqih itu dibuat sehingga kita bisa tahu cara wudlu, sholat, dsb sesuai dgn wudlu dan sholat Nabi.
Saat kita belajar sholat, kita kan belajar sholat lewat mazhab Fiqih langsung praktek sholat. Kalau buka kitab2 hasits seperti takbir itu hadits Bukhari nomor berapa, ruku hadits Muslim nomor berapa, ya tidak akan bisa sholat kita.
Masalah tradisi Hindu jadi tradisi Islam sepeti Tahlil misalnya. Itu adalah Syiar Islam. Zaman dulu orang Indonesia itu Hindu. Kalau para Ulama seperti Walisongo tidak mengenalkan Islam dgn cara Tahlilan, bisa jadi anda ibadahnya masih di pura. Bukan di masjid.
Dgn Syiar Islam itu maka melayat keluarga yang meninggal pada hari pertama, ke7, 40, 100, 1000 hari diisi dgn membaca Tahlil (zikir utama), baca surat Al Qur’an, dan juga ceramah untuk Syiar Islam.
Nabi juga pernah membuat tradisi orang kafir jadi Syiar Islam. Contoh Sya’ie antara Shafa dan Marwah itu dulu biasa dilakukan orang kafir. Begitu pula Puasa Asyura. Nabi menjadikan tradisi orang kafir tsb menjadi Syiar Islam yg sesuai ajaran Islam.
Ada tidak orang Hindu baca Tahlil: Laa ilaha illallahu? Kalau iya, berarti dia sudah jadi muslim. Begitu.
Mengubah Tradisi Orang Kafir jadi Satu Tradisi Islam bukan berarti Tasyabbuh atau Bid’ah. Bisa jadi itu adalah Syiar Islam. Ini Nabi lakukan dgn mengubah Puasa Asyura yang biasa dilakukan kaum kafir jadi Puasa Sunnah. Begitu pula dengan mengelilingi Ka’bah yang biasa dilakukan orang kafir dengan Thawaf:
“Orang2 Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah pun melakukannya pada masa jahiliyyah.
Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147 Muslim 2/792, dll)
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]
‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas berkata: “Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa’i dalam Islam (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari ‘Ashim bin Sulaiman.)
https://kabarislamia.com/2012/04/27/mengubah-tradisi-orang-kafir-menjadi-syiar-islam/
Masuk log untuk membalas
Diki Rahmat pada Juni 25, 2015 pukul 6:04 pm
ingat doa ikhwan-akhwat sekalian setiap sholat:
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
jgn biarkan kalbu itu keras seperti batu…luluhkan dgn banyak dzikir kalimah toyyibah
Masuk log untuk membalas
pencothardcore pada Oktober 19, 2015 pukul 9:02 pm
Bener bgt bro, lama2 adu bacok
Adu jotos nih dimari, pada sok bener yah,
Bingung ane..
Niatnya mau belajar jadi ngablu nih,
Yang di tanya apa, yang jawab juga kmana?
Koplak…
Kita muslim bro, masa kudu berantem masalah bginian…!!!
Bedebah berantem ada yg mati, blm tentu ente mati lgsg masuk surga.
Ga selamanya kita bener bro, klo ente merasa paling bener, ente ga usah percaya tuhan. Selloow bro selloww, kalem aja. Kali aja ada yg lebih bener.
Masuk log untuk membalas
Adam Alvaro pada Juli 7, 2015 pukul 1:34 am
Kalau yg lbh dekat dg zaman Nabi berarti lbh shohih. Berarti madzhab hanafi n maliki lbh benar daripada madzhab syafii n madzhab hambali? Kenapa imam syafii membuat madzhab sendiri padahal beliau murid imam malik? Mohon penjelasannya
Masuk log untuk membalas
Admin pada Juli 8, 2015 pukul 5:18 am
Meski Imam Syafi’ie lahir belakangan dari Imam Malik, namun beliau tetap sezaman dgn Imam Malik sehingga bisa berguru dgn Imam Malik dan juga guru2 lainnya. Masa mereka hidup tidak jauh beda. Insya Allah semua benar.
Apakah lebih baik atau tidak, wallahu a’lam. Kan tergantung kecerdasan, keluasan ilmu, dsb.
Cuma secerdas2 orang, kalau hidup di zaman sekarang ya tidak bisa bikin mazhab yg lebih baik. Sebab zaman kita sudah jauh dari zaman Nabi. Sudah tidak murni lagi. Zaman Imam Mazhab, antara mereka dgn Nabi cuma dipisah 1-2 orang saja. Sedang zaman kita, dipisah oleh 40-50 generasi, terlalu jauh.
Perbedaan itu Sunnah. Misalnya dalam menafsirkan ayat menyentuh wanita membatalkan wudlu. Imam Syafi’ie berpendapat batal dgn mengacu pada zahir ayat Al Qur’an tsb. Sementara Imam Mazhab lain berpendapat tidak batal kecuali diikuti nafsu dgn mengacu hadits ttg itu. Kalau mau hati2, ya ikut Imam Syafi’ie.
Ayat Al Qur’an tangan Allah di atas tangan mereka. Nah bagi yang menafsirkan secara hakiki dan majazi (kiasan) tafsirannya saja sudah beda. Meski sama2 mengacu pada Al Qur’an.
Masuk log untuk membalas
Usup Margono pada Juli 22, 2015 pukul 7:43 pm
Tulisan ini akan merubah dunia,, sungguh sangat memberi kecerahan pikiran dan ketenangan hati menghapus keraguan,, semoga Alloh membalas anda beserta keluarga dengan surga,, amin.
Masuk log untuk membalas
kikizsaban pada Juli 23, 2015 pukul 5:42 am
Mantap tulisannya. Pukulan telak bagi salafi wahabi kacangan yg sok-sok an. Mantap ustadz. Lanjutkan
Masuk log untuk membalas
Asep Supriadi pada Juli 23, 2015 pukul 8:11 am
terima kasih ustad tanya jawab ini memberi pencerahan buat saya untuk lebih memahami persoalan hadist nabi dan mazhab2nya….
Masuk log untuk membalas
Muhammad Yusuf pada Agustus 3, 2015 pukul 2:10 am
Bgmn hukumnya, aku sbg orang awam sangat menghormati para imam mazhab, ttpi aku tdk fanatik pd salah seorang mazhab saja, jzkllhkhoironkastiro
Masuk log untuk membalas
Anis pada Oktober 15, 2015 pukul 5:42 am
Mungkin dapat sedikit saya tambahkan. Mengambil satu mazhab saja untuk dipelajari tidak sama dengan bersikap fanatik. Sebagaimana jawaban dari Admin di bawah, mengambil satu mazhab saja untuk kita yakini dan ikuti itu untuk mempermudah kita dalam menjalankan syariat agama.
Fanatik di sini apakah yang anda maksud? Saya takutnya memang ada persepsi awal yang tidak sama. Yang saya pahami, sikap fanatik itu timbul ketika menganggap hanya yang diikutinya saja yang benar sementara lainnya salah. Contoh sederhananya jika mengikuti mazhab syafi’i yang menggunakan qunut, lalu ia menganggap metode dari mazhab hambali yang tanpa qunut adalah salah, hanya yang menggunakan qunut lah yang benar; vice versa alias dan sebaliknya.
Selama sikap-sikap fanatik yang semodel dengan penjelasan di atas tidak terjadi, menurut saya memang bukan fanatik namanya. Tidak perlu takut dengan mazhab, semuanya boleh dipilih salah satu untuk diikuti, sesuai dengan kemantapan hati kita.
Wallahu a’lam bisshawab.
Masuk log untuk membalas
Admin pada Agustus 4, 2015 pukul 8:49 am
Belajar 1 Mazhab saja sulit pak. Apalagi belajar 4 Mazhab, itu di luar kemampuan kita. Berapa banyak sih dari kita yang sudah khatam kitab Al ‘Umm yang disusun oleh Imam Syafi’ie?
Masuk log untuk membalas
Basma Adzim Mutaalli (@mutaalli) pada September 10, 2015 pukul 3:14 am
saya bingung dengan penjelasan ustadz bahwa syai’ dan thowaf itu amalan orang kafir, setahu saya itu adalah amalan / manasiknya Nabi Ibrahim dan Isma’il, cuma setelah beberapa dekade kaumnya membuat patung dan gambar orang soleh yang kemudian dijadikan penyembahan dan mengotori hanifnya agama islam, ibrahim red.
bagaimana itu ustadz?
Masuk log untuk membalas
Admin pada September 11, 2015 pukul 11:22 pm
Sya’i antara bukit Shafa dan Marwah itu dari Siti Hajar yang berlari2 kebingungan antara mencari air dengan tangis anaknya Nabi Ismail. Jadi saat itu, itu bukan ibadah pak.
Ada pun kaum kafir melakukan sya’i itu ada haditsnya:
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]
‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas berkata: “Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa’i dalam Islam (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari ‘Ashim bin Sulaiman.)
Ibnu Abbas menerangkan bahwa syaitan-syaitan di jaman Jahiliyyah berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah. Dan di antara kedua tempat itu terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang, berkatalah kaum Muslimn kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah kami tidak akan berthawaf antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu biasa kami lakukan di jaman Jahiliyyah.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158). (Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Mengubah Tradisi Orang Kafir jadi Satu Tradisi Islam bukan berarti Tasyabbuh atau Bid’ah. Bisa jadi itu adalah Syiar Islam. Ini Nabi lakukan dgn mengubah Puasa Asyura yang biasa dilakukan kaum kafir jadi Puasa Sunnah. Begitu pula dengan mengelilingi Ka’bah yang biasa dilakukan orang kafir dengan Thawaf:
“Orang2 Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah pun melakukannya pada masa jahiliyyah.
Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147 Muslim 2/792, dll)
“Nabi tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari asyura. Beliau bertanya:”Apa ini?” Mereka menjawab:”Sebuah hari yg baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.
Maka beliau (rasulullah) menjawab:”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HSR Bukhari 4/244, 6/429)
Masuk log untuk membalas
Batrisyia Herbal (@AgenBatrisyia) pada Oktober 19, 2015 pukul 2:00 am
Ustadz yang di rahmati Allah, di salah satu situs wahabi, saya melihat mereka mencantumkan hadist ini (saya kutip):
“Sesungguhnya iman itu akan kembali ke Madinah sebagaimana ular akan kembali ke lobangnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah dari hadist ini bisa kita simpulkan, kalau untuk belajar agama apakah kita sebaiknya merujuk ke kota nabi tersebut? Sedangkan disisi lain banyak kalangan muslim yang selalu menuduh di negara arab saudi penuh dengan hal2 negatif seperti negeri wahabi dll, bagaimana kaitannya dengan hadist ini ustadz?
Masuk log untuk membalas
Admin pada Oktober 19, 2015 pukul 6:15 am
Kalau sebelum Madinah (Hijaz) diserbu Kerajaan Najd tahun 1925 bagus pak belajar di Madinah. Pahamnya masih asli dari Nabi. Tapi setelah diserbu kerajaan Najd, pahamnya jadi berubah pakai paham Najd:
Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda (Najd) pada kali yang ketiga, ‘Di sana (Najd) terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]
Selain itu meski Dajjal tidak bisa masuk Madinah, namun saat terjadi 3 goncangan orang2 kafir dan munafik akan keluar dari Madinah. Artinya saat ini banyak orang2 kafir dan munafik diam di kota Madinah. Copet saja banyak:
Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada suatu negeripun melainkan akan diinjak oleh Dajjal, kecuali hanya Makkah dan Madinah yang tidak. Tiada suatu lorongpun dari lorong-lorong Makkah dan Madinah itu, melainkan di situ ada para malaikat yang berbaris rapat untuk melindunginya. Kemudian Dajjal itu turunlah di suatu tanah yang berpasir -di luar Madinah- lalu kota Madinah bergoncanglah sebanyak tiga goncangan dan dari goncangan-goncangan itu Allah akan mengeluarkan akan setiap orang kafir dan munafik.” (Riwayat Muslim)
Masuk log untuk membalas
Adfas pada Oktober 20, 2015 pukul 2:32 am
ustadz yang dirahmati Alloh.. ini misalnya ya ustad jika ada keterangan (hadist nabi ) didalam salah satu dari kitab atau keempatnya dari 4 mazhab kemudian di lemahkan keterangan tersebut oleh imam bukhory atau muslim gimana neh tanggapan ustaz… trims..
Masuk log untuk membalas
Admin pada Oktober 22, 2015 pukul 1:06 am
Insya Allah hadits dari Imam Mazhab yang hidup lebih awal dari perawi hadits itu lebih murni dan lebih kuat.
Imam Bukhari (lahir tahun 196 H) dan Imam Muslim (lahir tahun 204 H) saja konsekwen ikut Mazhab Syafi’ie (lahir tahun 150 H). Artinya mereka mengakui hadits Imam Syafi’ie lebih kuat daripada kitab Shahih mereka.
Masuk log untuk membalas
Fazar Riez pada Desember 6, 2015 pukul 6:46 am
Pak Ustadz yang semoga dirahmati Allah SWT
jujur Saya belum memahami mengenai permasalahan Mazhab yang sesungguhnya.
Karna di Negara Kita ini Madzhab identik dengan sebuah Aliran dalam Islam. Contoh yang Saya ketahui aliran Sunnah Wa al-jamaah
mengikuti Mazdhab Imam Hanafi
lalu pertanyaan Saya, apakah beraliran dalam islam itu diperbolehkan ?
Mohon maaf apabila ada kata” Saya yang salah
Admin pada Januari 18, 2016 pukul 3:07 am
Suka tidak suka, ada banyak aliran dalam Islam. Ada yang lurus. Ada yang sesat.
Sebaik2 paham adalah Mazhab seperti Syafi’ie yang muncul pada 2 abad pertama Islam. Saat itu Islam masih murni dan lurus. Mereka merumuskan hukum selain dari Al Qur’an dan Hadits juga dari praktek ibadah dari anak dan cucu sahabat Nabi. Jadi sanad ilmunya itu sampai ke Nabi. Hadits yang dikuasai para Imam Mazhab itu bisa 1 juta hadits yang kemudian mereka rumuskan dalam mazhab mereka.
Kalau sekarang, tinggal 100.000 hadits saja. Itu pun banyak yang tidak murni lagi.
Athen Adi pada Oktober 21, 2015 pukul 8:01 pm
1 pertanyaan dari Allah SWT .. maka 1000 jawaban dari manusia, 1 ketentuan Allah SWT, 1000 makna yang ditafsirkan oleh manusia, karena Qolamullah adalah Nur yang hanya mampu diterima oleh Nur juga yaitu Nur nya Rosullullah SAW, sedangkan manusia dengan segala hawa nafsunya mengotori Nur Qolbunya sendiri jadi mungkin tidak mampu melihat, mencerna, mentafsirkan,atau bahkan mungkin menerima Nur Qolamullah, jadi pada dasarnya kesucian Qolbu/hati sebagai wadah dari Nurnya Allah SWT sangat jelas apakah kita mampu memahami dari Maksud, makna, tujuan, Allah SWT terhadap Manusia.
contoh :
ada satu benda terlihat , orang indonesia mneyebutnya pisang, orang inggris menyebutnya banana, orang sunda menyebutnya Cau dan yang lainnya mnyebutnya dengan suara dan bahasa yang berbeda-beda , artinya dari bahasa dan suara saja sudah berbeda-beda.
kemudian dari rasa apakah kita bisa menjabarkannya dengan maksud yang sama,
kemudian kandungannya ada yang dianjurkan untuk dikonsumsi karena alasan bahkan ada yang melarangnya karena alasan kesehatan juga. misalkan alergi atau mungkin mencret-mencret.
waktu kadaluarsa mengkonsumsinya pun berbeda – beda.
nah jadi jelas sekali semuanya sangat bergantung kebijaksanaan kita memaknai segala sesuatu.
jangankan kita yang hidup tanpa bertemu Rosullullah SAW, manusia yang hidup bersamaan dengan Rosull SAW pun setelah Rosullullah SAW meninggal saling berselisih paham bahkan sampai perang satu sama lainnya.
artinya ketika mencari kesucian, kebenaran, dari prilaku dan perkataan Rosullullah SAW, hanya hati yang didalamnya sudah bersemayam NUR ILLAHIYAH, yang mampu karena jawaban dari semuannya diberikan langsung oleh NUR ALA NURRON.
INSYA ALLAH…
Masuk log untuk membalas
jafalfarony pada November 1, 2015 pukul 7:59 am
Kalau kita mengerjakan ibadah haji itu syarat dan shanya ibadah haji itu ada sya’i, bukan begitu pak ustadz….?
Masuk log untuk membalas
Bambang Suprayitno pada Februari 13, 2016 pukul 12:36 pm
yang penting masing2 pengikut mahzab saling menghormati dan tidak boleh saling menyalahkan dan tidak boleh merasa paling benar lebih baik perbanyak amal soleh sebagai bekal di akherat ….
Masuk log untuk membalas
Mohammad Ridwan pada Maret 18, 2016 pukul 6:45 pm
Syukron ustadz atas penjelasannya, semoga Alloh SWT merahmati anda cuma terus terang karena saya masih terlalu awam masih bingung
saya sering lihat sebuah hadits itu di sebutkan HR.Fulan misal HR Ahmad maksudnya hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad kan? yang dikumpulkan dalam musnadnya.
Nah klo imam Syafi’i apakah disebutkan HR Syafi’i atau bagaimana soalnya rasa-rasanya saya belum pernah mendengar/melihat tulisan HR Syafi’i di belakang sebuah hadits (karena saya fakir ilmu).
Kemudian mengapa dalam artikel di atas ustadz menukil hadits2 bukhari & muslim apakah hadits2 yang matannya seperti itu tidak ada di musnad-musnad imam 4 madzhab? kalau ada bukankah sebaiknya menampilkan hadits dari imam 4 madzhab saja karena menurut ustadz keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya
mohon penjelasannya
Masuk log untuk membalas
Admin pada Maret 31, 2016 pukul 5:09 am
Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H itu justru guru dari Imam Ahmad yang lahir tahun 164 H. Imam Syafi’ie itu hafal Al Qur’an saat umur 7 tahun dan hafal kitab Hadits Al Muwaththo yg disusun Imam Malik pada umur 10 tahun. Imam Syafi’ie menguasai 1 juta hadits dan juga praktek ibadah generasi cucu dari sahabat (Tabi’it tabi’in).
Dari situlah beliau menyusun kitab Fiqih Al Umm seperti cara sholat, puasa, dsb. Ini dibuat sistematis, dan tertib. Jadi dgn membaca kitab Al Umm dan berguru pada guru yang bermazhab Syafi’ie, anda bisa sholat.
Kalau anda cuma baca kitab Bukhari dan Muslim, tidak akan bisa sholat.Coba saja. Imam Bukhari dan Muslim pun meski mereka menguasai 300 ribu hadits lebih, tetap bermazhab Syafi’ie. Jadi tidak memakai hadits yang mereka tulis.
Hadits Bukhari dan Muslim dipakai selama tidak bertentangan dgn ajaran Imam Mazhab.
Masuk log untuk membalas
R Hadimi Sakih pada April 8, 2016 pukul 5:13 pm
Luar biasa penjelasan ustadz, kalau kita telisik penjelasan ustadz diatas mengacu pada pendekatan islamologi, artinya urut-urutan mulai dari Zaman Nabi Muhammad, para Sahabat, para Imam/Mazhab dan para ahli Hadis. Artinya agar kita paham dan mempermudah untuk pemahaman tentang ajaran islam selain Alquran.Kita diberi pemahaman hulunya dulu baru ke muaranya, yang kita suka disesatkan oleh banyak orang seolah-olah para ahli hadislah yang paling benar.
Masuk log untuk membalas
Rabu, 15 Juni 2016
wafatnya fatimah
448. Wafat nya putri kesayangan Rasulullah saw
Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri Ali bin Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632 Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah.
Kepergian ibu dari Hasan dan Husein sungguh menyayat hati dan mengharu biru. Fatimah sebenarnya sudah tahu kapan dirinya akan dipanggil Ilahi.
Alkisah saat Rasulullah terbaring sakit, Fatimah tak henti-hentinya bersedih. Rasulullah pun membisikkan sesuatu ke telinga anaknya.
"Aku akan pergi tetapi engkau pertama yang akan menyusul," ujar Rasulullah"
Sontak raut muka Fatimah menjadi senang karena keriduannya kepada ayahanda pasti segera tertambat. Banyak yang ingin tahu apa yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah, namun ditanya berapa kalipun Fatimah bergeming.
Fatimah menyadari ajalnya makin dekat, saat itu dia menemui ayahnya dalam mimpi. "Wahai Fatimah! aku datang untuk memberi kabar gembira kepadamu. Telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini, putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kamu menjadi tamuku?"
Sebelum meninggal, Fatimah berlaku tidak biasa di dalam rumah dia menyisir Hasan dan Husein dengan air mawar dan hati terus bergetar karena tahu dia akan meninggalkan dua buah hatinya. Dia dekap Hasan dan Husein dan diciuminya dalam-dalam.
Ali termenung dan terus memandangi belahan hatinya tersebut. lantas Fatimah berkata, "Wahai Ali. Bersabarlah untuk deritamu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu yang kedua! Jangan engkau melupakan diriku. Ingatlah diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidupku yang terbaik, teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku"
Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan. Fatimah lalu meminta kedua anaknya berziarah ke pemakaman Baki. Anak-anaknya menurut. Untuk terakhir kali Fatimah memandang Ali "Halal semua atasku wahai cahaya kedua mataku," ujar Fatimah memohon maaf.
Fatimah berbaring dan menyuruh Asma binti Umais menyiapkan keperluan dan makanan. Tak disangka beberapa waktu sebelum ditariknya nyawa Fatimah, dua anaknya kembali ke rumah. Fatimah pun menyuruh lagi keduanya pergi ke Raudah, dia tidak ingin anaknya sedih melihatnya menghadap Ilahi.
Dalam kesakitannya, Fatimah berbisik kepada Ali. Dia menitipkan wasiat kepada Ali, yaitu permohonan maaf kepada Ali, meminta Ali mencintai kedua anaknya, meminta dirinya dimakamkan pada malam hari agar saat dikebumikan tidak banyak dilihat manusia, dan meminta Ali untuk sering mengunjungi makamnya.
Saat menitipkan wasiat, tiba-tiba dua anaknya kembali dari Raudah. Sadar kondisi ibunya, mereka mendekap Fatimah erat-erat. Fatimah meminta keduanya agar jangan berpaling di jalan Al-Quran, jalan Rasulullah dan melawan ayahnya.
Fatimah meminta semua orang keluar dari kamarnya, dia hendak menyendiri dan ingin bersama tuhannya. Fatimah berpesan jika tidak ada lagi sahutan dari dalam kamar maka jiwanya telah hilang. Dalam sekejap Madinah telah kehilangan mawarnya saat Fatimah kembali keharibaan tuhan.
rahasua muhammadiyah dan nu
*Sekedar Biar Paham Sejarah Saja*
السلام عليكم
*MENGUAK RAHASIA MUHAMMADIYAH SELALU NAMPAK BEDA DENGAN NAHDLATUL ULAMA (NU)*
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing. Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu. Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain:
1. Shalat Tarawih sama-sama 20 rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat Tarawih 20 rakaat di Masjid Syuhada Yogya.
2. Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan.
3. Baca doa Qunut Shubuh.
4. Sama-sama gemar membaca shalawat (Diba’an).
5. Dua kali khutbah dalam shalat Ied, Iedul Fithri dan Iedul Adha.
6. Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran.
7. Kalimat iqamah (qad qamat ash-shalat) diulang dua kali.
8. Dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.
Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari 3 jilid, yang diterbitkan oleh: Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktek ibadah yang rupanya “harus beda” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail (dalil-dalil), nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau fadhail al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktek ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih 8 plus 3 witir, bagaimana prakteknya?
Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi: 4, 4, 3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk Tarawih. Dan tiga rakaat untuk Witir. Model Witir tiga sekaligus ini versi madzhab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu Witir. Ini versi asy-Syafi’i.
Tapi pada tahun 1987, praktek shalat Tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH. Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di Masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadits Muslim lebih shahih ketimbang hadits empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushalla di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat Tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.
Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan Pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai Departemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu dipakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama menggunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai hadits rukyah dan ikmal.
Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.
Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.
Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadits yang dulu dielu-elukan, ayat al-Quran berisikan seruan “taat kepada Allah, RasulNya dan Ulil Amri” dibuang dan alergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak? Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupun sekarang.
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya takkan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat?
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain?
Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong modern sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan Majlis Tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada.
(Diedit ulang dari tulisan Ust Sulaiman Timun Mas).
Semoga bermanfaat,
الفقير مسدوقي
والسلام عليكم
Jumat, 10 Juni 2016
cara membayar fidyah
0
Konsultasi Ramadhan : Cara Membayar Fidyah, dan apa boleh digantiSeptember 22, 2012 admin Fiqih
Pertanyaan :
Assalamu’alaykum
Ana mau tanya beberapa pertanyaan seputar puasa ramadhan:
– Apakah membayar fidyah (orang tua yang sudah renta) harus dibayarnya setiap hari selama bulan ramadhan? kapan waktunya?
– Apakah boleh membayar fidyah di akhir bulan ramadhan/sesudah bulan ramadhan dengan sekaligus?
– Dan bolehkah membayar fidyah dalam bentuk uang? mohon dijelaskan dengan dalilnya ya!
Jazakumullahu khairan
Yasser Afif < …. @yahoo.co.id>
Jawaban :
(dijawab oleh : Abu ‘Amr Ahmad)
a. Membayar fidyah ada dua cara :
Cara Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil. Dengan syarat dia harus sudah melalui / melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :
– Dia memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu orang miskin. … dst.
– Atau bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16 hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga ke-29.
Cara Kedua, dibayar sekaligus. Yaitu setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.
Shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul Bari VII/180).
* Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga sekaligus.
* * *
b. Adapun membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)
Seorang ‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan serupa beliau menjawab sebagai berikut :
“Wajib atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. …. Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan :
1. Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
2. Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
3. fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
4. Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
5. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
6. Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
7. Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
http://www.assalafy.org/mahad/?p=349#more-349
(20592) views
LEAVE A REPLY
→
→
→
khutbah rosul saat puasa ramadhan
[KHUTBAH RASULULLAH SAAT RAMADHAN …]
Saya akan menukil sebuah riwayat hadits yang terdapat dalam buku “PUASA RAMADHAN” karya Syaikh Abdullah Sirajuddin al-Husaini rahimahullâhu ta‘âlâ tentang sebuah khutbah yang disampaikan langsung oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tatkala menyambut datangnya bulan suci Ramdhan. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui bersama, agar ghirah (semangat) menyambut bulan suci yang sebentar lagi akan datang menjadi Ramadhan kita yang terbaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ayyuhal-ikhwan, mari sama-sama kita simak khutbah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang penuh “getaran” berikut ini:
عَنْ سَلْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ فَقَالَ: يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ وَخَصْلَتَيْنِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ: فَشَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَتَسْتَغْفِرُونَهُ وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهَا: فَتُسْأَلُونَ اللهَ الْجَنَّةَ وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا سَقَاهُ اللهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ
Diriwayatkan dari Salman radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari terakhir dari bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yag nilainya lebih baik dari seribu bulan, bulan yang di dalamnya Allah menjadikan puasa sebagai kewajiban dan shalat di malam harinya sebagai kesunnahan. Barangsiapa yang bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mengerjakan perbuatan baik maka ia seperti orang yang telah mengerjakan perbuatan fardhu yang dikerjakan selain pada bulan Ramadhan, dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan fardhu pada bulan Ramadhan, maka ia seperti orang yang telah mengerjakan tujuh puluh kewajiban yang dikerjakan selain pada bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran pahalanya adalah surga, bulan Ramadhan adalah bulan persamaan dan bulan ditambahkannya rizqi orang mukmin. Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa di bulan itu, maka hal itu menjadi pengampun dosa-dosanya, dan pembebas dirinya dari api neraka, dan ia mendapatkan pahala yang sama sebagaimana orang yang berpuasa itu tanpa terkurangi sedikitpun.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah tidaklah kami semua mempunyai makanan untuk memberi buka puasa bagi orang yang berpuasa?” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda: “Allah memberikan pahala itu bagi setiap orang yang memberikan buka puasa baik berupa sebiji kurma, atau seteguk minuman atau sekecap susu. Bulan Ramadhan adalah bulan yang permulaannya adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Barangsiapa yang memberikan keringanan kepada budak yang dimilikinya pada bulan tersebut, maka Allah akan memberikan pengampunan dari dosa yang ia perbuat dan membebaskannya dari api neraka. Di dalam bulan Ramadhan perbanyaklah melakukan empat perbuatan, dua perbuatan dapat menjadikan Tuhan kalian ridha, dan dua perbuatan lainnya kalian pasti membutuhkannya. Adapun dua perbuatan yang dapat menjadikan Tuhan kalian ridha adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kalian memohon ampunan dari-Nya. Adapun dua perbuatan yang kalian pasti membutuhkannya adalah kalian meminta balasan surga dari Allah dan berlindung dari api neraka. Barangsiapa yang memberi air minum kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya air minum dari telagaku yang dengannya ia tidak akan merasa haus sedikitpun sampai ia masuk kedalam surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan lainnya)
=========================
Judul : PUASA RAMADHAN
Dalil Syariat | Adab | Kegunaan | Keutamaan
Karya: Abdullah Sirajuddin al-Hussaini
Terbit: Juni 2015
Tebal : xvi + 172 halaman
Harga: Rp. 25.000,- (DISC 15%) Rp. 21.500,-
Ukuran: 10,5 cm x 15 cm
© Penerbit Layar, DI. Yogyakarta
=========================
Cara Pemesanan Buku via Online!
Ketik SMS/CHAT [Nama Pemesan#Judul Buku#Jumlah Eksemplar#Alamat Pengirim#Nomer Telp/Hp#Kirim ke SMS/WA + 089631227377 atau BBM 5AC8374C] Setelah itu menunggu balasan SMS/WA/BBM dari kami. Transaksi cepat dan mudah. Terimakasih ツ
Attention!
⊙ Ongkir wilayah pulau jawa Rp. 15.000,-/ 1 kg
⊙ Ongkir wilayah luar pulau jawa Rp. 20.000,-/ 1 kg
=========================
follow twitter @muhsinbsy/@penerbitlayar
25 Sya‘ban 1437 H/ 1 Juni 2016 M
*Silahkan Disebarluaskan …
keterangan ngaji
NGAJI KITAB BERSAMA MBAH MUN (03)
Sedikit Keterangan Dari Ngaji
شجرة المعارف والأحوال
Bersama KH Maimoen Zubair Di Musholla Al-Anwar Malam Selasa Pon 2 Romadlon 1437 H/ 7 Juni 2016 M.
Ma'rifah (Pengertian Yang Wujud Dari Usaha) Merupakan Perkara Yang Mendorong Kepada Semua Ketaatan.
Sedangkan Sifat Yang Menjadi Watak Akan Mendorong Kepada Sebagian Ketaatan.
Apabila Dalam Satu Pekerjaan Terkumpul Dua Pendorong Itu, Maka Pekerjaan Itu Akan Menjadi Kokoh Dan Bisa Langgeng.
Seperti Contoh, Pemberian Dari Orang Yang Mengetahui Serta Dermawan Akan Lebih Kokoh Dan Sempurna Dari Pada Pemberian Orang Yang Tidak Mengetahui Serta Kikir.
Hal Itu, Karena Pengetahuan Serta Watak Kedermawanannya Akan Mendorong Untuk Memberi.
Begitu Pun Pencegahan Diri Atas Perbuatan Jelek Dari Orang Yang Mengetahui Serta Pemalu Akan Lebih Sempurna Dari Pada Pencegahan Diri Atas Perbuatan Jelek Dari Orang Yang Tidak Ada Pengertian Serta Tidak Ada Rasa Malu.
Hal Itu Karena Pengetahuan Serta Rasa Malunya Akan Mencegah Dirinya Dari Perbuatan Jelek.
Dalam Hal Ini, Rosululloh Bersabda:
الناس معادن كمعادن الفضة والذهب خيارهم في الجاهلية خيارهم في الإسلام إذا فقهوا
Manusia Itu Bagaikan Pertambangan, Sebagaimana Pertambangan Emas dan Perak. Orang-Orang Yang Terpilih Dari Mereka Pada Zaman Jahiliyyah Juga Merupakan Orang-Orang Yang Terpilih Pada Zaman Islam, Apabila Mereka Pandai (Faqih).
Hal Itu Karena Watak, Kepandaian (Kefaqihan) Serta Keimanan Mereka Akan Mendorong Terhadap Akhlaq Yang Mulia, Sehingga Akhlaq Itu Menjadi Lebih Kokoh Dan Sempurna.
Source: Kanthongumur
Semoga kita semua dijadikan ahli ilmu. Amin
Bagian sebelumnya: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1780989328798786&substory_index=0&id=1433990446832011
Langganan:
Postingan (Atom)